Selasa, 17 Mei 2011

Pekerja Migrant Indonesia di Malaysia

Pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan manusia sehingga setiap orang membutuhkan pekerjaan. Pekerjaan dapat dimaknai sebagai sumber penghasilan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Dapat juga dimaknai sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri sehingga seseorang merasa hidupnya menjadi lebih berharga baik bagi dirinya, keluarga maupun lingkungannya.[1]

Zaman globalisasi saat ini telah memaksa seluruh lapisan masyarakat di dunia untuk bisa bertahan dengan segala arus perkembangan dan modernnitas. Negara–Negara berkembang terus berupaya mempertahankan dirinya dengan meningkatkan kualitas hidup warga negaranya melalui pembukaan lapangan pekerjaan yang sebesar–besarnya di dalam negeri maupun mengirimkan warga negaranya untuk dapat bekerja di luar negeri (negeri lain).

Hal tersebut khususnya pengiriman tenaga kerja ke luar negeri banyak di lakukan oleh Negara berkembang yang memiliki keterbatasan dalam penyediaan lapangan kerja di Negaranya, dan cenderung memilliki jumlah penduduk yang sangat besar dengan tidak diimbangi oleh pembukaan lapangan kerja baru. Indonesia yang merupakan salah satu dari Negara berkembang yang memiliki jumlah penduduk besar (atau terbesar ke-4 di Dunia setelah China, India dan Amerika) juga tidak luput dari permasalahan ini sehingga salah satu kebijakan yang di ambil Pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini adalah dengan mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negeri.

Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Progam penempatan TKI ke luar negeri, merupakan salah satu upaya penanggulangan masalah penganguran.

Peranan pemerintah dalam progam ini di titik beratkan pada aspek pembinaan, serta perlindungan dan memberikan berbagai kemudahan kepada pihak yang terkait, khususnya TKI dan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS)[2] yang telah memperoleh izin dari pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri sesuai dengan UU No 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. “Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri adalah pahlawan devisa Negara”, inilah pernyataan sekaligus pengakuan bahwa TKI merupakan salah satu penyumbang sebagian pendapatan Negara Indonesia dalam APBN, Jadi dalam hal ini pemerintah mendapatkan keuntungan materil dari pengiriman TKI ke luar negeri karena para TKI yang bekerja tentu memperoleh imbalan dalam bentuk valuta asing.[3] Selain itu progam penempatan TKI juga memberikan manfaat lain, yaitu meningkatkan kesejahteraan keluarganya melelui gaji yang diterima atau remitansi dan juga meningkatkan keterampilan TKI karena mempunyai pengalaman bekerja di luar negeri.

Tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia sudah berlangsung cukup lama dan jumlahnya terus bertambah. Pada awalnya, semua berlangsung secara wajar sesuai dengan kekuatan faktor penarik (pull-factor) dari Malaysia dan faktor pendorong (push-factor) dari Indonesia. Perekonomian Malaysia bertumbuh cepat, sementara penduduk dan tenaga kerjanya relatif jarang. Karena kekurangan tenaga, sistem ekonomi menjanjikan upah tinggi.

Sebaliknya, jumlah penduduk Indonesia sangat besar, sementara kesempatan kerja sangat terbatas, pengangguran cukup tinggi. Faktor jarak yang relatif dekat serta faktor kesamaan budaya dan bahasa ikut mendorong arus tenaga kerja Indonesia ke Malaysia. Pada mulanya berlangsung menurut kekuatan pasar kerja. Informasi pada umumnya melalui para kenalan, sebelum melalui sistem pengerah tenaga kerja. Tidak ada istilah pekerja ilegal. Kasus-kasus hampir tidak ada. Sama-sama merasa saling membutuhkan dan saling menguntungkan.[4]

Persoalan TKI di Malaysia sesungguhnya bukan cuma persoalan ekonomi kontemporer atau sesaat, tetapi juga problem sejarah migrasi dari penduduk Malaysia (Melayu) bahkan sebelum kelahiran kolonialisme. Dengan demikian sejarah pengiriman TKI ke Malaysia khususnya memiliki sejarah yang panjang, maka kehadirannya sering sekali menjadi salah satu problem utama dalam hubungan bilateral kedua Negara. Berbeda halnya dengan pengiriman TKI ke kawasan Asia Timur misalnya yang relative mudah diselesaikan jika terjadi persoalan yang menimpa TKI atau majikan dan penduduk lokal. Jika terjadi permasalahan yang menimpa TKI, seperti penganiayaan oleh majikan maka persoalan bias merembet ke hal-hal lain di luar persoalan hubungan kerja sehingga sangat merepotkan kedua Negara.[5]

Saat ini Sebagai buruh asing di negara tempat bekerja, buruh-buruh ini diberlakukan secara diskriminatif. Mereka dilarang mendirikan serikat buruh atau masuk dalam serikat buruh setempat. Buruh migran perempuan yang bekerja di sektor domestik (PRT/Pembantu Rumah Tangga) memperoleh upah lebih rendah dibanding buruh migran laki-laki. Karena waktu kerja yang ketat, banyak buruh migran dihalang-halangi untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. Lebih dari itu jumlah buruh migran Indonesia yang sebagian besar perempuan dalam konstruksi masyarakat patriarkis rentan terhadap tindak kekerasan yang berbasis pada diskriminasi gender.

Menurut data dari BNP2TKI selama tahun 2007 tercatat 973 kasus mengenai gaji dan kompensasi yang belum dibayarkan. Dari penanganan kasus itu, uang TKI yang bias diselamatkan sebesar Rp 3.043.485.120. sedangkan, pada tahun 2008, terdapat 854 kasus serupa dengan uang diselamatkan sebesar Rp 3.500.672.651.[6] Selain permasalahan gaji dan remitansi yang tidak dibayar, permasalahan dokumen dan deportasi oleh pemerintah Malaysia terhadap TKI juga cukup tinggi. Menurut data KBRI Kuala Lumpur TKI yang tidak berdokumen dan di deportasi oleh pemerintah Malaysia pada tahun 2008 mencapai 30.816 orang, terdiri dari 30.438 orang dewasa dan 378 anak-anak. Sementara pada tahun 2009, tercatat sebanyak 28.539 orang, terdiri dari 27.868 orang dewasa dan 671 anak-anak. Dua permasalahan tersebut merupakan kasus yang sangat sering terjadi bagi TKI di Malaysia, sedangkan kasus penganiyaan dan pemerkosaan di tahun 2007, Departemen Luar Negeri Indonesia mencatat terdapat 10 kasus.[7]

Dari sekian banyak persoalan, jarang yang menempatkan persoalan pendidikan sebagai salah satu faktor terjadinya proses kekerasan terhadap TKI, padahal kalau dirunut secara seksama, faktor pendidikan sangat penting dalam pertimbangan penentuan “menjadi” TKI di luar negeri. Alasannya? Indikator tingkat pendidikan inilah yang acapkali dijadikan ukuran penempatan (placement) tenaga kerja, yang notabene sangat terkait dengan keamanannya di tempat mereka dipekerjakan. TKI yang memiliki tingkat pendidikan baik kebanyakan mereka terserap pada lembaga jasa yang formal. Tentunya ini sangat berkaitan dengan latar belakang pendidikan dan keterampilan yang mereka miliki. Pola rekrutmen biasanya dilakukan melalui lembaga – lembaga pendidikan kejuruan yang memiliki jaringan kerja sama penempatan tenaga kerja di luar negeri. Berbeda jauh dengan mereka yang hanya berangkat hanya berbekal nekad tanpa dilengkapi bekal dan keahlian yang memadai. Dari segi penempatannya pun, TKI yang mempunyai latar belakang pendidikan pas – pasan lebih banyak ditempatkan pada sektor informal, seperti menjadi pembantu rumah tangga, pengemudi, pekerja kebun/perkebunan dan sebagainya. Sektor informal inilah yang paling banyak menjadi tempat kerja bagi TKI di luar negeri atau yang disebut juga buruh migrant dan cenderung mengalami berbagai penyiksaan, ketidakadilan, penipuan, pelecehan seksual terutama TKW Indonesia dan perbudakan oleh yang mempekerjakannya. Meskipun sudah ada pergeseran penempatan TKI dari sektor informal menuju ke sektor formal, namun pergeseran tersebut belum signifikan.

Di tahun 2009, menurut data dari Kapuslitfo BNP2TKI, Malaysia merupakan Negara primadona bagi TKI. Saat ini terdapat lebih dari 2 juta orang WNI berada di Malaysia, 1,2 juta di antaranya memiliki izin resmi untuk bekerja (TKI), dan sekitar 800.000 orang berstatus illegal. Para pahlawan devisa di Malaysia itu umumnya bekerja di bidang perkebunan dan pertanian sebanyak 379.438 orang, Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) 269.602 orang, Konstruksi kilang (pabrik) 396.151 orang dan di bidang jasa 40.467 orang.

Bila ditelusuri semua tahapan pengiriman TKW/TKI terutama ke Timur Tengah dan Malaysia, keputusan berangkat bekerja ke sana adalah karena keterpaksaan, yakni terdesak kebutuhan keluarga, sementara kesempatan kerja dalam negeri sangat terbatas. Sejak rekrutmen hingga pemberangkatan, para TKI sudah banyak berkorban, yaitu pungutan dari calo, tinggal dan makan di bawah kewajaran selama menunggu di tempat penampungan agen, pungutan dari agen, dan rasa bosan menanti pemberangkatan. Di tempat tujuan, banyak juga TKW/TKI yang menghadapi masalah, antara lain, menunggu lama di penampungan sebelum penempatan; penempatan tidak sesuai dengan yang dijanjikan misalnya dijanjikan menjadi pelayan toko ternyata pelayan tempat hiburan, upah dibayar sebagian karena sebagian besar dipotong oleh agen, upah berbulan-bulan tidak dibayar, majikan yang kejam dan ringan tangan, terutama pekerja ilegal sering menjadi obyek pemerasan oknum aparat setempat.

Demikian juga pada saat kembali ke Tanah Air, mereka sering menjadi obyek pemerasan berbagai oknum, pemaksaan angkutan dengan harga mahal, nilai tukar mata uang asing yang diturunkan, dan lain-lain. Dengan demikian, mudah dipahami bahwa di samping sejumlah TKW/TKI yang berhasil mengendalikan diri, banyak di antara mereka yang menghadapi akumulasi permasalahan yang tidak tertahankan sehingga menimbulkan letupan emosional.

Melihat besarnya devisa Negara yang dapat diperoleh dari sector penempatan TKI di luar negeri ini, tentu saja membuat posisi pemerintah RI sangat dilematis ketika dihadapkan pada persoalan yang menyertai penempatan para TKI ke luar negeri ini. Pemerintah tentu tidak ingin apabila pendapatan hamper sebesar 15 triliun per tahun itu hilang begitu saja. Namun, permasalahan yang menimpa para TKI tersebut di luar negeri bukan lah pekerjaan ringan bagi pemerintah, apalagi kasus-kasus tersebut menyangkut hubungan unilateral antarnegara. Mereka lebih memilih untuk mendapatkan pekerjaan, sekalipun itu biayanya tidak murah dan kemungkinan resikonya tidak kecil. Pilihan bekerja di luar negeri adalah sesuatu yang ingin dilakukan, meskipun tidak harus ke tempat atau jenis pekerjaan yang sama. Sebagaimana penelitian Aswatini bahwa lebih dari 50% TKI wanita ingin kembali bekerja di Malaysia meskipun ada berita tentang perlakuan kasar dan tindakan yang tidak menyenangkan seperti beban kerja dan sebagainya


[1]Indonesia, Undang-undang tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, UU No.39 Tahun 2004, Penjelasan umum.

1

[2] Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan., Cet.1, (Jakarta. Sinar Grafika, 2009), hal 236

[3] ibid

[4] Sudjana, Eggi, Melepas Ranjau TKI., Cet.1, (Jakarta . RMBOOKS, 2009), hal.125

[5] Ibid.

[6] Ibid. hal.195

[7] Anis Hidayah, “Buruh Migran (Membangun Hubungan RI-Malaysia Berbasis HAM),”Diplomasi (15oktober-14noveber 2010) hal.18., No.36 Tahun III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar