Kamis, 23 April 2009

UU no 13 Tahun 2003 sangat memberatkan Buruh

Secara harafiah Semua manusia yang ada di bumi ini niscayanya adalah sama dimata allah dan sejajar dengan manusia lainnya yang membedakannya adalah akhlak dan ketaqwaanya kepada allah SWT, jadi setiap manusia seharusnya saling menyayangi dan menghormati satu sama lain tanpa terkecuali. Tidak seharusnya kita merendahkan dan memanfatkan apa lagi menyiksa secara fisik maupun batin seseorang yang secara ekonomi atau financial di bawah kita yang cenderung akan menimbulkan kecemburuan sosial. Seseorang yang memiliki kekuasaan dan mempunyai kehidupan ekonomi yang baik seharusnya bias mengayomi saudara-soudarannya yang memiliki kehidupan yang secara ekonomi memiliki keterbatasan, tidak terkecuali dalam hal seorang pengusaha yang mempekerjaan sesorang di perusahaanya. Para pengusaha harus dapat memperhatikan para pekerjanya tersebut dari kesejahterannya maupun kesehatannya, karena pekerja dan pengusaha merupakan replica dari simbiosis mutualisme yaitu saling membutuhkan satu sama lain. Pekerja tidak akan bisa mendapatkan uang dan menafkahi keluarganya kalau tidak bekerja dan pengusaha pun tidak akan bisa memproduksi barang produksinya untuk kelangsungan hidup perusahaan tersebut tanpa seorang pekerja ataupun buruh.

Dalam kenyataanya sekarang ini kondisi pekerja ataupun buruh di Indonesia sangatlah memperihatinkan dan menyedihkan. Kesejahteraan dan keselamatan kerja para buruh di Indonesia sudah lagi tidak diperhatikan para buruh di Indonesia terkesan seperti barang yang dapat diperjual belikan dan dapat diambil ketika dibutuhkan dan dapat di buang ketika sudah lagi tidak dibutuhkan. Buruh outsourcing lah yang banyak menerima nasib seperti tadi mereka hanya bekerja 2 – 3 tahun saja dan setelah itu dapat di PHK sesuai keinginan pengusaha. Di sah kannya UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan oleh mantan Presiden Megawati Soekarno Putri merupakan taparan yang keras bagi para buruh maupun para aktifis perburuhan, UU No13 tahun 2003 ini menghalalkan perusahaan untuk melakukan PHK secara masal tanpa ataupun pesangon yang amat kecil yang mendapatkannya pun hanya orang-orang tertentu. Alasan di sah kannya UU No 13 tahun 2003 ini adalah agar para investor-investor asing bisa tertarik menanamkan modalnya di Indonesia dengan harga buruh yang murah. . UU No.13 Tahun 2003 tersebut dirasakan sebagai UU Tenaga Kerja yang lebih berpihak pada pengusaha di era pasar bebas demi pengembangan perekonomian negara. Tujuan di balik disahkannya UU tersebut adalah membuat pasar tenaga kerja di Indonesia semakin murah sehingga para investor mau mengembangkan investasinya di Indonesia. Dengan demikian, harapannya laju pertumbuhan ekonomi nasional melalui hadirnya investasi-investasi tersebut dapat dicapai dengan signifikan. Meski sebenarnya yang terjadi justru amat merugikan pihak buruh karena upah riil semakin rendah dan jaminan kesehteraannya pun tak lagi menjadi prioritas tanggungjawab para investor (pemilik perusahaan).

Memang UU No 13 tahun 2003 ini telah direvisi tetapi hasil dari revisi tersebut malah semakin merugikan pihak buruh dan menguntungkan pihak investor (pengusaha). Dua hal krusial yang kontroversial dalam UU maupun revisinya adalah persoalan Hubungan Kerja yang menyangkut tentang kontrak kerja dan hal upah atau pesangon. Dalam hal persoalan kontrak kerja ini, pasal-pasal yang cukup kontroversial dalam revisi UU tersebut antara lain: Pasal 59 ayat (1): Perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu menurut jenis dan sifat atau kegiatan yang pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: (a) pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; (b) pekerjaan yang diperkirakan-penyelesaiannya dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun; (c) pekerjaan yang bersifat musiman; (d) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Kontroversi pada revisi pasal 59 ini adalah: pada ayat 1: pekerjaan yang dilakukan atas dasar jangka waktu tertentu akhirnya tidak hanya menyangkut pekerjaan tertentu tetapi dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan. Dengan demikian, perusahaan dapat menggunakan tenaga kerja buruh sesuai dengan keinginan produksinya berdasarkan kontrak kerja yang mereka buat, dengan jenis pekerjaan apa saja. Tenaga kerja menjadi komoditi yang sewaktu-waktu bisa dibuang begitu saja dan mengganti dengan tenaga kerja lainnya dengan jaminan hukum yang sama.

Tak ada kepastian bagi buruh untuk dapat menjadi seorang tenaga kerja tetap.
Kontroversi selanjutnya atas revisi pasal 59 ini adalah perubahan pada ayat 6 yang tertulis demikian: Dalam hal hubungan kerja diakhiri sebelum berakhirnya PKWT yang disebabkan karena pekerja/ buruh melanggar ketentuan di dalam perjanjian kerja maka pekerja/ buruh tidak berhak atas santunan dan pekerja/ buruh yang bersangkutan wajib membayar ganti rugi kepada pengusaha sebesar upah yang seharusnya diterima sampai berakhirnya PKWT. Amat jelas bahwa ayat ini amat menguntungkan pihak perusahaan karena membebaskan tanggungjawab perusahaan untuk memberikan pesangon bagi buruh yang terputus kontrak kerjanya karena melanggar ketentuan kontrak. Hal ini jelas merugikan pihak pekerja. Pasal ini dapat disalahgunakan oleh pihak perusahaan untuk memutus para buruhnya tanpa harus membayar upah/pesangon dari buruh tetapi justru memberatkan para buruh karena harus membayar ganti rugi kepada pihak perusahaan. Apa yang dilindungi oleh pasal ini adalah demi produksi, modal, dan kepentingan pengusaha saja.

Pasal revisi selanjutnya cukup kontroversial adalah dihapusnya pasal 35 ayat 3 yang tertulis: Pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Dengan dihapusnya ayat dalam pasal ini, jelas bahwa tenaga kerja tidak lagi dijamin kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisiknya. Penghapusan ini menguntungkan pihak pemberi kerja untuk lepas dari tanggungjawab moralnya terhadap perlindungan dan jaminan kesejahteraan para buruh. Dan masih banyak pasal-pasal yang menjadi kontroversi dalam UU ini yang menguntungkan para investor.

Bukankah seharusnya UU itu berpihak kepada rakyat dan bertindak secara adil untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya dan mencegah penguasa untuk bertindak semaunya kepada rakyat kecil. UU N0 13 tahun 2003 tidak lah mencerminkan UU yang sebenarnya, UU ini sangatlah menguntungkan pihak penguasa (investor) yang cenderung bertindak sesukanya untuk kepentingan pribadi ataupun perusahaanya tanpa memperdulikan para pekerjanya. Pembuatan revisi UU ini sendiri disinyalir dikerjakan oleh Bappenas, World Bank dan IMF tanpa menyertaikan Menteri Tenaga Kerja, Pimpinan Serikat Buruh dan Anggota DPR RI/D. Dengan demikian, jelas bahwa UU No.13 Tahun 2003 ini dengan setiap revisi pasal-pasalnya yang kontroversial itu dibuat demi kepentingan pengusaha para pelaku pasar bebas yang mengutamakan produksi dan pemupukan modal. Dalam hal ini, Pemerintah sebagai otoritas pembuat UU mendukung dan menjamin perkembangan investasi dari para pengusaha itu tanpa memperhatikan kesejahteraan para buruh

Banyak hal yang bisa menerik investor asing untuk menamkan modalnya di Indonesia, seperti dengan meningkatkan SDM di masyarakat, memberantas korupsi yang masih banyak di Pemerintah, penyederhaan peraturan perijinan, penghapusan biaya siluman, menghilangkan pungutan, memberikan rasa aman dan menghapus praktik premanisme. Jadi tidak semestinya biaya upah buruh yang dipangkas semakin kecil dan dengan menghapus hak-hak dari buruh tersebut untuk menarik para investor. UU No 13 tahun 2003 ini sudah selayaknya dihapuskan, karena jelas-jelas UU ini tidaklah memihak kepada rakyat kecil khususnya kaum buruh. Mereka (kaum buruh) seperti telah di injak-injak oleh bangsanya sendiri. Atau mungkin dibuat UU baru yang lebih berpihak kepada kaum buruh.